Oleh: Soe Hok Gie
Senja ini, ketika matahari turun ke dalam jurang-jurang mu
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku
aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
“hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya “tanpa kita mengerti,
tanpa kita bisa menawar
‘terimalah dan hadapilah
dan antara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas-batas hutanmu, melampaui batas-batas jurangmu
aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup
Jakarta 19-7-1966
Begitulah yang dituliskan Gie tentang gunung favoritnya ini. Memang benar, Pangrango adalah gunung yang indah, jalur yang dilalui pun cukup menantang, dan merupakan jalur favoritku. Bukan hanya kaki saja yang bermain dalam perjalanan, tapi tangan juga ikut mempunyai andil yang besar dalam pendakian. Pangrango..Pangrango yang dingin dan sepi, adalah suatu kenangan yang tak terbayang sebelumnya. Menghadirkan kisah yang tak kenal lelah, memberikan rasa yang mendalam. Lembut seperti kabut tipis yang membelai lembah kasih, lembah mandalawangi. Pantas saja disebut dengan lembah kasih.. lembah yang lembut dan menyentuh hati. Entahlah... naik Gede naik Pangrango memang berbeda, perasaan yang dalam terasa berbeda. Dari dulu, Pangrango terasa dalam.. dingin.. sepi. Benar. Namun tidak sarat dan tidak menghilangkan sisi keromantisan puncak dan lembah yang menyenangkan. Itulah Pangrango yang kokoh, tegak menjulang dengan indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar