Tiada-ada-ketiadaan

Tanpa sadar hujan di bulan Juni banyak yang membicarakan,
Hujan itu juga nampaknya membuatku tiada.
Seperti Ketiadaan cerahnya langit.
Bagaimana tidak? Bunga anggrek yang ada di depan rumah itu mulai layu.
Bagaimana tidak? Taman asri tempat kita sering bermain menjadi muram,
Bagaimana tidak? Ayunan tempat kita bercanda tawa, sudah usang dan rusak.
Aku hanya bisa melihat dari jauh,,,
sedikit-sedikit tapi... ya sudahlah.
Bukan karena tidak ada, tapi ada yang selalu ada dalam ketiadaanku padamu.
Ketika yang ada itu bisa dengan mudahnya ada dalam ketiadaanmu.
Kapanpun ingin dia ada dalam ketiadaanmu.
Aku adalah tiada, kamu adalah ketiadaan, dia adalah ada.
Ketiadaanku seperti tersisih, sehingga yang lain bisa menjadi ada.
Ada karena terlihat oleh banyak yang ada.
Aku juga memang ada, tapi hanya ada dalam diam, hanya dalam ketiadaan.
Seperti kata Om Sapardi (*Lagi..)
"... dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada."
Dan aku adalah tiada. Dalam ketiadaanmu. Dalam ke-ada-an nya.
Tiada yang bukan berarti mati, tapi hanya sedang tidak ada.
Aku seperti awan yang ingin menyampaikan kepada hujan, namun tiada.
Hingga aku ingin menjadi hujan saja, agar bisa kusampaikan pada tanah-tanah gersang dibumi,
bisa bermain dengan anak-anak yang sedang bermain bola dilapangan yang menunggu hujan,
dan bisa menumbuhkan benih di ladang.
Benih padi, benih bunga tulip, benih seledri, ataupun benih tomat.
Hingga bisa kusampaikan bersama pelangi dilangit tercerah,
atau bersama senja dipelataran ombak lautan.