Menarik sekali ketika saya membaca
majalah lama ini. Di sela-sela menonton berita sore ini, teman saya membaca
majalah tentang pangan, Dari Majalah
FoodReview Vol. V No.9 September 2010, dan kemudian saya tertarik untuk
meminjamnya. Dalam majalah ini khusus mengulas tentang pangan, industri dan
teknologi pangan. Sedikit berbagi ilmu tentang hal yang saya baca,
mudah-mudahan bermanfaat dan dapat memberikan sedikit pengetahuan yang lebih
untuk yang belum tahu.
Pangan fungsional adalah pangan
olahan yang mengandung satu atau lebih komponen funsional yang berdasarkan
kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak membahayakan
dan bermanfaat bagi kesehatan (Bab I,
Pasal I, ayat 3; Peraturan Kepala BPOM RI, HK 00.52.0685).
Industri pangan adalah industri
yang sangat kompetitif. Untuk berhasil dalam kompetisi yang semakin tajam,
apalagi dalam tataran global-industri pangan harus mampu menghadirkan produk
yang sesuai dengan tujuan konsumen. Konsumen dengan informasi, perhatian dan
kesadaran mengenai kesehatan yang semakin tinggi; semakin mempersyaratkan bahwa
produk pangan harus aman (tidak memberi dampak membahayakan bagi kesehatan),
tetapi justru memberikan efek positif
bagi kesehatan, namun tetap harus memberikan sensasi enak , nikmat dan
lezat (Purwiyatno Hariyadi, Ph.D :
Pimpinan Redaksi FoodReview Indonesia).
Beras Berpigmen : Sebuah Peluang Pengembangan Pangan Fungsional
(oleh : Shinta D.A)
Dari
Majalah FoodReview Vol. V No.9 September 2010
Berbagai macam produk pangan
fungsional saat ini mudah kita temui di pasaran, mulai dari susu fermentasi,
teh hijau, hingga biscuit dari gamdum utuh. Salah satu bahan lokal Indonesia
mempunyai peluang untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku produk pangan
fungsional adalah beras berpigmen (beras berwarna).
Awalnya padi dengan bulir berwarna
dianggap sebagai tumbuhan pengganggu pada pertanama padi. Namun di daerah
Bhutan, China, India, Filipina dan Srilanka, beras berpigmen sengaja ditanam
sebagai salaha satu bahan makanan pokok. Beras berpigmen merupakan salah satu
kultivar dari spesies Oryza sativa,
yang mengandung pigmen anthosianin, sehingga menyebabkan bulir berasnya
berwarna. Warna beras sangat bervariasi, mulai dari yang berwarna ungu hingga
yang berwarna kemerahan. Beras-beras tersebut biasa disebut sebagai beras hitam
untuk yang berwarna keunguan dan beras merah untuk yang berwarna kemerahan.
Untuk beras hitam yang kandungan amilosanya sangat rendah biasanya disebut
ketan hitam.
Mengapa beras berwarna?
Warna pada beras ditentukan oleh
komposisi anthosianidin yang terkandung didalamnya. Anthosianidin merupakan bagian non gula dari senyawa anthosianin.
Jenis anthosianidin yang paling banyak terdapat di dalam beras berpigmen adalah
cyaniding dan peonidin. Selain itu, tingkat kepekatan warna beras berpigmen
juga tergantung pada konsentrasi pigmen serta derajat penyosohan beras. Senakin besar derajat
penyosohan beras, maka tingkat kepekatan warna beras akan semakin menurun.
Sebagian besar pigmen yang terkandung dalam beras terdapat dalam pericarp dan
lapisan seedcoat (Juliano, 2003).
Beras berpigmen sudah cukup dikenal
sebagai makanan fungsional oleh penduduk Korea, Jepang, India, dan China.
Penduduk India mengenal Njavara sebagai medicinal rice. Njavara merupakan salah satu anggota genus Oryza tipe liar (wild rice) yang mempunyai bulir beras pecah kulit
berwarna merah. Beras ini telah digunakan selam ribuan tahun dalam terapi
kesehatan tradisional masyarakat India yang dikenal dengan sebutan ayurvedic treatments. Di Jepang, jenis
beras ini termasuk dalam kategori FOSHU (Food
for Specified Health Uses), karena kandungan polifenol serta anthosianinnya
yang tinggi.
Anthosianin merupakan salah satu jenis komponen flavonoid yang
sering dijumpai di alam. Komponen flavonoid sendiri merupaka sub kelompok dari
komponen fenolik. Pigmen ini bersifat larut air dan memberikan berbagai macam
warna pada tumbuhan, seperti biru, ungu, violet, magenta, merah, dan jingga.
Struktur dasar dari anthosianin adalah garam flavylium dari
2-phenylbenzopyryllum. Jika gugus sula pada anthosianin terhidrolisis, maka
yang tertinggal adalah produk hidrolisis non gula yang disebut anthosianidin.
Jenis anthosianidin yang terdapat di dalam makanan antara lain pelarginidin,
cyaniding, delphinidin, peonidin, petunidin, dan malvidin. Tiap jenis
anthosianidin tersebut mempunyai stabilitas serta tingkat kepekatan warna biru
dan merah yang berbeda. Petunidnin dan malvidin cenderung lebih stabil
dibandinngkan pelargonidin, cyaniding, dan malvidin (Elbe and Schwartz, 1996).
Selain
anthosianin, beras berpigmen juga mengandung senyawa fenolik lainnya. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh de Mira et al. kandungan total senyawa fenolik
pada beras berpigmen 4 kali lebih besar dibandingkan kandungan total senyawa
fenolik beras putih (non pigmented). Dengan rata-rata TPC (Total Phenolic
Compound) sebesar 1072.2±198.1 mg ferrulic acid (FA) aquivalent/kg untuk beras
putih dan 4246.2±703.7 mg FA equiv./kg untuk beras berpigmen. Percobaan
tersebut dilakukan pada 14 varietas beras putih (non pigmented) dan 7 varietas
berasss berpigmen dalam bentuk beras pecah kulit. Meskipun keduanya termasuk
dalam jenis beras berpigmen, namun jumlah senyawa flavonoid dalam beras hitam
relatif lebih besar dibandingkan senyawa flavonoid dalam beras merah (Yun Shen, et al., 2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar